Selasa, 24 Januari 2012

Reformasi Birokrasi Indonesia, Reformasi Sistem Remunerasi

Jika berbicara tentang birokrasi apa yang ada di benak Anda? Inefisiensi, inefektivitas, inekonomis, lambat, tidak tanggap, berbeli-belit, serta sederet cap jelek lainnya mungkin akan terlontar. Hal itu tidak dapat disalahkan. Birokrasi di Indonesia dahulu dan barangkali hingga kini memang identik dengan hal itu. Sebagai masyarakat kita tentu sangat berharap akan ada perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam Global Competitiveness Report 2010-2011 (World Economic Forum), disebutkan bahwa birokrasi pemerintahan yang tidak efisien menjadi faktor pertama dan paling bermasalah dalam menjalankan bisnis di Indonesia (di mata pengusaha sebagai konsumen, bahkan mengalahkan faktor korupsi, kurangnya dukungan infrastrukrur, akses pembiayaan perbankan, dan kelima adalah laju inflasi. Terkait hal ini, reformasi birokrasi adalah jawabannya.


Reformasi birokkrasi, menurut Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia, adalah upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia. Dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi tujuan dilaksanakannya reformasi birokrasi adalah membentuk profil dan perilaku aparatur negara dengan integritas tinggi, produktivitas tinggi dan bertanggungjawab, serta berkemampuan memberikan pelayanan yang prima, sehingga dapat terbangun birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, dan akuntabel.


Kunci dari berbagai tujuan reformasi birokrasi seperti tersebut di atas adalah kesiapan sumber daya manusianya sebagai pengelola birokrasi. Jika tujuan-tujuan tersebut tidak tercapai berarti telah terjadi perilaku menyimpang dalam organisasi. Menurut Yoaz Vardi dan Ely Weitz dalam bukunya Misbehavior in Organizations, perilaku menyimpang dalam organisasi adalah segala tindakan di tempat kerja yang dilakukan dengan sengaja dan merupakan pelanggaran aturan yang berkaitan dengan perilaku tersebut. 


Terdapat berbagai tipe perilaku menyimpang dalam organisasi, mulai dari yang menguntungkan individu secara pribadi sampai yang menguntungkan organisasi. Namun karena tujuan dari birokrasi di Indonesia adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat maka jika terdapat hal-hal diluar tujuan tersebut akan dianggap menyimpang.


Menurut Rhenald Kasali, pelayanan dalam reformasi birokrasi adalah pelayanan sistemik, yang mengalir dari serangkaian mata rantai nilai yang ditarik dari suatu strategi perubahan yang bersifat strategik. Terdapat beberapa elemen yang harus terpenuhi dalam reformasi birokrasi, yaitu biaya yang murah, kecepatan delivery, kualitas output yang baik, dan pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Upaya untuk mengembalikan tujuan birokrasi agar sesuai dengan nilai dan cita-cita semula salah satunya adalah sistem penggajian yang menarik. Namun selain itu hal lain yang juga tidak boleh diabaikan adalah manajemen SDM yang memungkinkan didapat SDM yang berkualitas, teknologi yang mutakhir, business process yang simpel dan clean, budaya korporat yang kondusif serta sistem monitoring dan evaluasi yang mampu menangani performance management dengan baik.


 Sistem penggajian atau remunerasi merupakan alat pendukung reformasi birokrasi. Setuju atau tidak, gaji masih merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja pegawai negeri. Di awal pencanangan reformasi birokrasi di Indonesia oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara terdapat lima lembaga yang dijadikan percontohan reformasi birokrasi, yakni Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Tiga di antaranya telah menerapkan pola remunerasi yang berbasis kinerja. Mengapa pola remunerasi berbasis kinerja penting untuk segera dilaksanakan sebagai faktor pendorong kesuksesan reformasi birokrasi? Hal ini karena sistem penggajian pegawai negeri sebelumnya kurang memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan sehingga kurang memacu kinerja. Disamping itu alasan lainnya adalah jumlahnya yang tidak memenuhi kebutuhan hidup layak, struktur gaji kurang memenuhi prinsip equity karena tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, struktur gaji kurang ideal dan rasio gaji terendah dan tertinggi terlalu kecil (1:3,3). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2007,  gaji terendah untuk golongan I/a dengan masa kerja 0 tahun adalah Rp 760.5000 dan tertinggi adalah Rp 2.405. 400 untuk golongan IV/e dengan masa kerja 32 tahun. 


Ada lima prinsip yang akan diterapkan dalam reformasi birokrasi melalui sistem remunerasi yaitu:
1. Sistem merit, yaitu penetapan penghasilan pegawai berdasarkan harga jabatan;
2. Adil, dalam arti jabatan dengan beban tugas dan tanggung jawab pekerjaan dengan bobot yang sama dibayar sama dan pekerjaan yang menuntut pengetahuan, keterampilan serta tanggung jawab yang lebih tinggi, dibayar lebih tinggi;
3. Layak, yaitu dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (bukan minimal);
4. Kompetitif, gaji PNS setara dengan gaji pegawai dengan kualifikasi yang sama di sektor swasta, guna menghindari brain drain;
5. Transparan, dalam arti PNS hanya memperoleh gaji dan tunjangan resmi.


Perbaikan sistem penggajian pegawai negeri memang bukan merupakan sarana satu-satunya untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang berujung pada peningkatan pelayanan masyarakat. Sistem remunerasi berbasis kinerja harus diiringi dengan program pendukung peningkatan kinerja. Sekali lagi gaji masih merupakan pemacu motivasi para pegawai untuk meningkatkan produktivitas. Dengan sistem penggajian yang dapat bersaing dengan sektor swasta, pegawai negeri diharapkan dapat aktualisasi diri dengan memberikan pelayanan birokrasi yang prima pada masyarakat karena kebutuhan dasarnya sudah dapat terpenuhi.  

1 komentar: