Minggu, 13 November 2011

Jika Bangladesh bisa mengapa kita tidak!

Tulisan lama dari multiply. Saya akan pindahkan beberapa tulisan lama saya ke blog ini. Lumayan untuk menambah isi sambil menunggu ilham membuat tulisan baru.


Kemiskinanan adalah suatu problematika bangsa yang tidak akan pernah ada habisnya, seperti sebuah fenomena gunung es, yang tampak ke permukaan jauh lebih kecil dari pada apa yang terdapat di bawahnya. Menurut Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian tahun 2006 asal Bangladesh, kemiskinan seperti pohon bonsai. Ia tumbuh kerdil karena akarnya tumbuh dalam wadah terbatas. Akarnya tak cukup kuat untuk mencari makan ke mana-mana karena ia dibatasi. Selama ini diskusi tentang kemiskinan masih berputar-putar di sekitar perdebatan mengenai berapa jumlah orang miskin.

Angka-angka statistik mengenai jumlah orang miskin terkesan sebagai angka politis yang kadang kala menyesatkan.”Kita ambil contoh tentang trend orang miskin yang terus menurun dari 30 juta orang pada tahun 1987 menjadi 27,2 juta orang pada tahun 1990 dan menjadi 25,5 juta orang pada tahun 1993” ( Sjahrir dalam Widjojo Nitisastro 70 tahun Pembangunan Nasional : Teori, Kebijakan dan Pelaksanaan, 1997 : 1106 ). Kesan bahwa angka statistik kemiskinan merupakan angka politis rasanya tidak berubah sampai saat ini. Berdasarkan data terbaru Biro Pusat Statistik angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan selama periode 3 tahun terakhir (2005-2007). Pernyataan Sjahri diatas, kalau bisa kita katakan sebagai sebuah teori jelas bisa kita buktikan saat ini, setelah 10 tahun kemudian Indonesia telah mengalami berbagai hal bersejarah,yang paling berpengaruh tentu saja Reformasi 1998.Namun, hal ini tidak mengubah trend tentang cara penghitungan jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Kemiskinan merupakan fenomena ekonomi yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah pengangguran. Kita akan ambil contoh tentang masalah kemiskinan di Kota Depok, yang merupakan kota termuda di Propinsi Jawa Barat. Menurut Kepala Badan Perencanaan Daerah ( Bapeda ) Kota Depok, Khamid Wijaya, kontribusi terbesar masalah kemiskinan di Kota Depok adalah pengangguran. Dalam bukunya, Mankiw ( 2003:170 ) menungkapkan bahwa, ”pengangguran menunjukkan sumberdaya yang terbuang. Para pengangguran memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pendapatan nasional, tetapi mereka tidak melakukannya.” Betapa sia-sianya jika potensi ( penganguran ) tersebut tidak dimanfaatkan, walaupun selama ini masyarakat kita sangat menganggap rendah para penggur. Mereka dianggap pemalas dan biang permasalahan ekonomi ( kemiskinan ).

Data penduduk miskin di Kota Depok tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1.    Kecamatan Sawangan 21.235 orang
2.    Kecamata Limo 9.851 orang
3.    Kecamatan Beji 11.044 orang
4.    Kecamatan Pancoran Mas 28.232 orang
5.    Kecamatan Cimanggis 30.702 orang
6.    Kecamatan Sukma Jaya 23.642 orang
Sumber: www.republika.co.id

Berdasarkan data diatas maka warga miskin di Kota Depok adalah 8,8% dari total jumlah penduduk kota Depok. Sementara itu, menurut data dari Portal Pemerintah Kota Depok angka pengangguran pada tahun 2005 di kota tersebut adalah 8,84% dari 617 ribu jiwa angkatan kerja. Kita dapat melihat betapa besar  potensi yang sebenarnya dapat dimanfaatkan. Namun, untuk dapat menggali potensi ini harus dilakukan perubahan yang cukup mendasar terhadap pengangguran. Rhenald Kasali ( 2005 ) mengungkapkan bahwa, “Perubahan pada dasarnya bukanlah menerapkan teknologi, metode, struktur atau manager-manajer baru. Perubahan pada dasarnya adalah mengubah cara manusia dalam berpikir dan berperilaku.” Perubahan pola pikir dan perilaku inilah yang harus dilakukan untuk dapat mengatasi masalah kemiskinan yang sangat erat dengan pengangguran. Bagaimana kita memandang bahwa angka penganguran adalah sebuah modal dasar untuk melakukan hal-hal besar.

Masalah pengangguran dan kemiskinan dapat diselesaikan dengan beberapa cara. Cara-cara berikut minimal dapat mengurangi kemiskinan karena rasanya kita tidak akan dapat menghilangkannya sama sekali.

1.Pemerintah dapat mendorong investasi secara besar-besaran guna menciptakan lapangan kerja seluas mungkin. Terciptanya lapangan kerja otomatis akan menekan angka kemiskinan. Program-program padat karya perlu dilaksanakan untuk mensukseskan pelaksanaan investasi besar-besaran yang telah dilakukan ini. Investasi secara cepat dan besar-besaran dapat membuka peluang usaha dan ekonomi bagi masyarakat miskin. Penciptaan iklim investasi yang kondusif merupakan peran pemerintah yang sangat penting karena hal ini akan melibatkan berbagai pihak dari luar yang ingin menjadi investor.

2.Membangun Banking for the poor seperti yang telah diterapkan Muhammad Yunus di Bangladesh untuk membantu kaum miskin di sana. Cara ini dinilai cukup ampuh karena kita tidak terlalu perlu melibatkan pemerintah. Kita dapat menjalankan program ini dengan hanya bergerak atas nama perorangan atau kelompok. Ketika melaksanakan program ini Muhammad Yunus mengawalinya dengan melakukan kunjungan ke lapangan. Dari sana ia menemukan seorang wanita yang sedang membuat kursi bambu dan hanya memperoleh untung yang sangat sedikit. Kemudian dilakukan observasi lebih lanjut dan diketahui bahwa sebenarnya warga miskin lain di tempat itu membutuhkan modal yang tidak seberapa. Mereka tidak mungkin mendapatkan pinjaman dari bank karena tidak memiliki jaminanan, maka wajar jika masyarakat miskin ini menjadi sasaran empuk rentenir. Yang mereka butuhkan adalah pinjaman tanpa jaminan dengan bunga dan cicilan yang rendah.

Pada waktu pertama kali melaksanakan program ini Muhammad Yunus mendapatkan 42 orang yang membutuhkan bantuan dan total modal yang dibutuhkan cuma US$27. Dengan nilai nominal sekecil ini kita tidak memerlukan bantuan pemerintah untuk bergerak. Pinjaman dengan sistem Banking for the poor memiliki sejumlah aturan. Pinjaman hanya diberikan kepada peminjam individual yang membentuk kelompok yang berjumlah lima orang Gagasannya adalah memberikan tekanan kelompok agar anggota-anggota lebih bertanggung jawab untuk mengembalikan pinjaman. Cara ini dikenal dengan sistem “grup solidaritas”, dimana setiap anggota kelompok kecil ini bertindak sebagi rekan-peminjam pembayaran dan mendukung usaha satu sama lain. Segera setelah pinjaman diterima mereka harus bekerja, berusaha dan mulai mencicil pada dua minggu berikutnya. Sampai tahun 2004, sistem ini telah berhasil menyalurkan pinjaman mikro sebesar US$4,5 miliar, dengan recovery rate sebesar 99%.

Melihat data ini dapat dibayangkan betapa besarnya potensi yang terdapat dalam penghimpunan kredit mikro yang selama ini mungkin disepelekan. Namun, dalam penerapannya di sini kita akan melakukan sedikit modifikasi dengan tidak memberlakukan sistem bunga ( walaupun kecil ) untuk menjaga keberlangsungan Bank for the poor. Kita akan menerapkan sistem bagi hasil ( syariah ) untuk menghindari unsur ribawi.

Jika kita lihat di lingkungan sekitar potensi untuk melaksanakan sistem peminjaman modal seperti sistem Bank for The Poor sangat besar .Betapa banyak orang sekelas Muhammad Yunus di Indonesia, bahkan kalau mau mahasiswa pun dapat mencoba menerapkan sistem ini di lingkungan sekitar tempat tinggal masing-masing. Karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya kita dapat menjalankan sistem ini tanpa bantuan pemerintah.Sekarang tinggal ada kemauan untuk melaksanakan dan memulainya dari bawah.

‘Kita semuanya terpenjara,namun beberapa di antara kita berada dalam sel berjendela. Dan beberapa lainnya dalam sel tanpa jendela’ -Kahlil Gibran-

*tiada menyangka kalau esai ini berhasil mengantarkan saya untuk ikut FIM 6 Mei 2008 yang lalu.

1 komentar: